Teluk siak terhampar bemban
Tersebutlah cerita zaman dahulu kala
Hari berlari bulan berjalan
Pembulak orang pembulaklah kita
Terdapat sebuah
kampung yang di dalamnya hiduplah sepasang suami istri yang dikaruniai seorang
anak. Anak itu sangat gemar bermain gasing. Setiap hari anak itu bermain gasing
di sekitar rumahnya. Saking seringnya, tidak ada yang mampu mengalahkannya dalam
bermain gasing. Akhirnya, anak itu di beri nama Bajak. Karena si Bajak tidak
ada teman bermain gasing, bajak meminta kepada ayahnya untuk dibuatkan sebuah
parang. Orang tuanya memang tukang pembuat parang yang terampil. Sang ayah
membuatkan si Bajak parang selama tujuh hari tujuh malam.
Setelah parang
jadi, si Bajak pun ingin mengembara dan meminta kepada ibunya untuk membuatkan
ketupat sebanyak tujuh buah sebagai bekal sarapan dalam perjalanan. Parang si
Bajak sangat besar, ujung parangnya menyentuh tanah dan dapat menjadi anak
sungai. Dalam perjalanan di dalam hutan, si Bajak mendengar suara gemuruh yang
sangat aneh. Si Bajak pun penasaran tentang sumber suarayang ada di sana.
Ternyata, yang membuat suara gemuruh itu adalah “Runtun Danau”. Runtun Danau merupakan seorang pendekar yang
ada di hutan. Ia sangat kuat sehingga mampu menumbangkan pohon-pohon dengan
cara menarik rotan yang ada di pohon tersebut.
Melihat hal tersebut, si Bajak pun menyapa
Runtun Danau.
“Hai
saudara, apa yang sedang kamu lakukan?” tanya si Bajak.
“Eeee,
kamu sudah merasa hebat ya. Beraninya kamu menegurku,” sahut si Rumpun Danau
dengan wajah yang menantang.
“Eeee,
aku si tidak merasa hebat,” jawab si bajak dengan tenang.
“Kalau
kamu tidak hebat, mengapa kamu berani menegurku. Bagaimana kalau kita taruhan
saja” tantang Rumpun Danau.
“Apa
hal yang akan jadi taruhan kita?” tanya
si Bajak.
“Bagaimana kita bertarung nyawa saja, siapa yang bisa hidup dialah
pemenangnya,” sahut si Rumpun Danau dengan wajah yang sangar.
“Saya tidak setuju kalau kita bertarung nyawa
saudaraku, bagaimana kita taruhan yang lain saja” saran Bajak dengan wajah yang
santai.
“Apa itu,” sergap si Runtun Danau.
“Kita bertarung kekuatan saja. Siapa yang
paling dalam menghempaskan tubuh ke dalam tanah maka dialah pemenangnya,” sahut
si Bajak.
“Hahaha... itu mudah, tetapi apa taruhannya
jika menang?” tanya Runtun Danau yang percaya diri.
“Siapa yang menang dia akan menjadi abang dan
siapa yang kalah dia akan menjadi adiik,” tutur si bajak dengan raut muka yang santai.
“Boleh, biar aku yang pertama yang
menghempaskan tubuhmu ke tanah,” tantang Runtun Danau.
“Silakan saudaraku,” sahut si Bajak.
Si Runtun Danau pun menghempaskan tubuh si
Bajak dengan tenaga penuh. Ternyata, tubuh si Bajak hanya terbenam sebatas mata
kaki.
“Sekarang giliranmu,” sahut si Runtun Danau
sambil tersenyum dan meremehkan si Bajak.
“Duaaaar...,“ suara hempasan si Bajak.
Runtun Danau pun terbenam hingga pinggang.
Muka Runtun Danau pucat karena merasa sangat terkejut akan hempasan si Bajak.
“Aku mengaku kalah, kamulah yang terkuat. Aku
dengan rela akan menjadi adikmu,” kata si Runtun Danau dengan wajah yang pucat.
“Siapa namamu?” tanya si Bajak.
“Nama
ku Runtun Danau. Siapa gerangan nama abang?” ungkap Runtun Danau.
“Nama ku Bajak,” jawab si Bajak.
Kemudian, Runtun
Danau dan si Bajak pergi mengembara menyusuri hutan bersama-sama. Mereka pun
berjalan melewati hutan yang sangat lebat. Tujuh hari tujuh malam mereka lewati
di hutan. Malam ke delapan, mereka mendengar suara aneh yang berasal dari sekitar
mereka.
“lengkang...
lengkung... lengkang... lengkung,” suara di semak-semak hutan. Mereka pun
penasaran sehinlgga mereka mencari tahu sumber suara tersebut. Ternyata, ada
seorang pendekar yang mencabut pepohonan dan melempar pohon-pohon tersebut ke
segala arah sehingga mengeluarkan bunyi “lengkang...
lengkung... lengkang... lengkung”. Orang itu bernama Pencabut Tunggul.
Hanya dialah yang menjadi pendekar terhebat di hutan tersebut. Runtun Danau pun
memberanikan diri untuk bertanya kepada Pencabut Tunggul.
“Apa kabar saudara?” tanya si Runtun Danau.
Si Cabut Tunggul
pun terkejut karena ada orang berani menyapanya. Sebelumnya, tidak ada satu
orang pun yang berani menyapanya karena dia terkenal dengan sosok yang ganas
dan kuat.
“Eeeh... kamu sudah merasa kuat?
Berani-beraninya kamu menegurku?” tanya si Cabut Tunggul dengan ekspresi marah.
“Aku tidak hebat dan juga tidak kuat,” sahut
Runtun Danau.
Karena merasa terganggu dan tertantang, Cabut
Tunggul menantang si Runtun Danau untuk bertarung. Namun, Runtun Danau menolak
usulan dari Cabut Tunggul.
“Bagaimana kita taruhan saja,” kata si Runtun
Danau.
“Taruhan apa?” kata si Cabut Tunggul.
“Barangsiapa yang bisa menghempas tubuh
lawannya ke dalam tanah maka dialah pemenangnya. Siapa menang dia menjadi abang
dan yang kalah menjadi adik,” tutur si Runtun Danau.
“Boleh,” sahut Cabut Tunggul.
Si Cabut tunggul pun menghempaskan tubuh si
Runtun Danau.
“Duaaaar,” suara hempasannya.
Ternyata, si Runtun Danau hanya terbenam se
batas lutut ke bawah tanah.
“Sekarang giliranmu,” tutur si Cabut Tunggul.
“Baiklah,” kata si Runtun Danau.
“duaaar.” suara hempasan tubuh Cabut Tunggul.
Cabut tunggul terbenam bedalam tanah sebatas
pinggang.
Sejak saat itu, Si
Cabut tunggul pun mengakui bahwa Runtun Danaulah yang terkuat dan menjadi adik
dari Runtun Danau dan Bajak. Cabut Tunggul pun ingin ikut mengembara bersama
Bajak dan Rumpun Danau. Akhirnya mereka menjadi tiga bersaudara. Mereka bertiga
pun berjalan bersama-sama masuk hutan. Dalam perjalanan mereka mendengar suara
deru air yang ada di tengah hutan. Mereka pun menyusuri dan mencari tahu sumber
suara. Ternyata, ada seorang pria yang sedang menimba air sungai. Pria itu
sangat kuat sehingga mampu mengeringkan sungai dengan sekejap. Nama orang
tersebut Si Timbak Tasik.
“Apa
kabar saudara?” tanya Si Cabut Tunggul kepada Timbal Tasik.
“Eeeh, kau sudah merasa hebat? Beraninya kamu
negurku?” jawab si Timbak Tasik.
“Saya tidak hebat, saya cuma ingin menyapa,”
jawab si Cabut tunggul.
“Dari sekian lama, belum ada yang berani
menyapa saya. Kalau kamu benar-benar merasa hebat mari lawan saya, kita
bertarung” jawab Timbak Tasik dengan wajah yang menantang.
“Saya mau bertarung, tetapi tidak berkelahi,
melainkan siapa yang bisa menghempas tubuh lawannya kedalam tanah, dialah
pemenangnya. Siapa yang menghempaskan paling dalam, dialah pemenangnya, yang
menang menjadi abang dan yang kalah menjadi adik,” Tawar si Cabut Tunggul.
“Boleh, biarkan saya yang menghempaskan
tubuhmu lebih dulu,” jawab si Timbak Tasik.
“Ya silakan,” jawab Cabut tunggul.
“Duaaar,” suara hempasan.
Ternyata si Cabut Tunggul hanya tenggelam
sampai paha di bawah tanah.
“Sekarang giliranmu,” tantang si Timbak
Tasik.
“Baiklah,” jawab si Cabut Tunggul.
“Duaaaar” suara hempasannya.
Akhirnya Timbak Tasik tertancap di bawah
tanah hingga batas dada.
“Kamu memang kuat, kita sudah berjanji atas
taruhan kita, maka kuanggap kau sebagai abangku” ungkap si Timbak Tasik.
Mereka
berempat menjadi keluarga angkat. Yang
menjadi abang pertama adalah Bajak, adik pertama Runtun Danau, adik kedua Cabut
Tunggul, dan adik ketiga Timbak Tasik. Mereka pun selalu bersama-sama menyusuri
hutan.
Setelah beberapa
lama berjalan menyusuri hutan, mereka kehabisan makanan. Akhirnya, mereka
berjalan dan menemukan sebuah danau. Si Bajak menyuruh sang adik, yaitu Timbak
Tasik untuk mengeringkan danau tersebut dengan cara menguras air di danau
tersebut. Dalam sekejap air pun mengering. Seekor ikan besar tergeletak di
tengah danau. Si Timbak Tasik mencoba untuk mengambil ikan itu. Namun, ia tidak
mampu mengangkat ikan besar tersebut. Kemudian, Tasik minta bantuan kepada
Cabut Tunggul dan Runtun Danau. Namun, mereka juga tidak bisa mengangkat ikan
raksasa tersebut.
Mereka meminta bantuan kepada abang pertama,
yaitu Si Bajak. Dengan enteng si Bajak mengangkat ikan tersebut ke daratan.
Mereka menghidupkan api lalu membakar ikan tersebut hingga matang. Mereka pun
dapat merasa nyaman karena lapar telah hilang.
Selepas makan,
masalah pun timbul. Saat hendak melempar sisa kepala ikan, dari ke tiga adik
bajak tidak ada satu pun yang mampu membuang atau melempar kepala ikan
tersebut. Sudah beberapa kali semua adik Bajak mencoba untuk membuangnya,
tetapi tetap tidak berhasil.
Sang adik pun
meminta bantuan kepada abang untuk membuang kepala ikan tersebut. Tanpa
menunggu lama, Bajak pun membuang kepala ikan tersebut. Hanya menjentikkan jari
kakinya, lalu kepala ikan tersebut terlempar jauh. Setelah kepala ikan itu
terbuang, sang adik bertanya kepada Bajak.
“Selanjutnya kita mau kemana bang?” tanya
sang adik.
“Kita akan menuju ke arah kepala ikan tadi,”
jawab si Bajak.
Tanpa
sepengetahuan mereka, ternyata kepala ikan tersebut terjatuh di sebuah
kerajaan. Seluruh penghuni kerajaan resah dengan keberadaan bangkai kepala ikan
karena kepala ikan tersebut menimbulkan aroma tidak sedap yang sangat
menyengat. Tidak ada satu orang pun yang mampu membuang kepala ikan tersebut.
Raja pun mengumumkan sayembara kepada semua
penghuni kerajaan.
“Barang siapa yang mampu membuang kepala ikan
ini, saya akan menikahkannya dengan putriku,” kata raja dengan tegas.
Bajak
dan ketiga adiknya pun berjalan mencari kepala ikan yang terlempar tadi. Mereka
bersama-sama menyusuri hutan dan mencari posisi kepala ikan itu terlempar.
Sepanjang perjalanan, ujung parang Bajak terhunjam ke tanah sehingga menyebabkan
setiap tanah yang dilewatinya menjadi anak sungai.
Setelah
tujuh hari tujuh malam, mereka pun menemukan sebuah kerajaan yang bau busuk.
Ternyata, sumber bau itu berasal dari bangkai ikan yang selama ini mereka cari.
Dari kejauhan, sang raja melihat empat bersaudara tersebut . Raja pun
menghampiri mereka dan meminta bantuan kepada empat saudara tersebut untuk
membuang kepala ikan tadi dengan jaminan menikahkan putrinya dengan orang yang
mampu membuang kepala ikan tersebut.
Dengan rasa percaya
diri Si Timbak Tasik pun menerima tantangan dari raja karena Timbak Tasik
menyukai anak raja yang sangat cantik. Alhasil, si Timbak tasik pun tidak mampu
menggerakkan kepala ikan tersebut. Begitu pula dengan kedua saudaranya.
Si
Bajak pun mencoba membuang kepala ikan tersebut. Dengan sentikan tangannya
kepala ikan itu pun terlempar jauh. Melihat hal itu raja pun kagum dan
menjodohkan anaknya dengan si Bajak. Namun, si Bajak menolak tawaran raja.
“Biar
adikku saja si Timbak Tasik yang menikahi putrimu,” ungkap si Bajak kepada
raja.
Raja pun menyetujui permintaan Si Bajak.
Timbak
Tasik pun akhirnya menikah dengan seorang putri dan tinggal di kerajaan itu. Si
Bajak dan kedua adiknya melanjutkan perjalanan. Sebelum berangkat, Si Bajak
meminta kepada Timbak Tasik untuk
menanam pohon selasih di depan kerajaan
dan berkata “apabila tanaman selasih ini layu, berarti aku dalam kesusahan,”
ungkap si Bajak kepada sang adik.
Bajak
dan kedua adiknya pun melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan parang si
bajak terus terseret di tanah.
“Kita mau kemana bang?” tanya sang adik.
“Kita akan menyusuri kepala ikan yang
terlempar tadi,” kata si Bajak.
Ternyata
kepala ikan tersebut jatuh di sebuah kerajaan yang lain. Raja kerajaan
mempunyai seorang anak yang sangat cantik. Melihat kepala ikan tersebut sang
raja khawatir. Raja menganggap bahwa akan terjadi musibah besar yang akan
menimpa kerajaannya. Karena tidak ada seorang pun yang mampu menyingkirkan
kepala ikan tersebut, raja pun mengumumkan sesuatu kepada seluruh penghuni
kerajaan.
“Barang siapa yang bisa membuang kepala ikan
ini, saya akan menikahkannya dengan putriku” ungkap sanga raja dengan tegasnya.
Si
Bajak dan kedua adiknya pun sampai ketempat jatuhnya kepala ikan itu. Mendengar
pengumuman raja, Si Cabut Tunggul pun dengan sigap mencoba membuang kepala ikan
itu karena dia berharap bisa menikahi anak sang raja. Namun, Si Cabut Tunggul
tidak mampu membuang kepala ikan tersebut. Akhirnya si Bajak lagi yang membuang
ikan tersebut dengan jentikan jarinya. Ikan itu pun terlempar jauh. Sesuai
dengan pengumuman, raja pun meminta Bajak untuk menikahi Putri Raja. tetapi
bajak menolaknya.
“Biar adikku si Cabut Tunggul saja yang
menikahi anakmu,’’ ungkap si Bajak kepada raja.
“Baiklah kalau itu kemauanmu,” Jawab sang
Raja.
Cabut Tunggul pun menikah.
Tinggallah Bajak dan Runtun Danau yang
melanjutkan perjalanan. Sebelum berangkat, si Bajak meminta kepada Cabut
Tunggul untuk menanam tanaman selasih di depan kerajaaan.
“Apabila tumbuhan selasih ini layu berarti aku
dalam kesusahan,” ungkap si Bajak. “Baiklah abangku,” jawab si Cabut Tunggul.
Bajak
dan Runtun Danau pun meninggalkan kerajaan dan melanjutkan perjalanan. Dalam
perjalanan, Runtun Danau bertanya kepada Bajak.
“Mau kemana kita bang?” tanya Runtun Danau.
“Kita akan menyusuri kepala ikan yang
terlempar tadi,” jawab Bajak.
Mereka
pun berjalan melewati hutan rimba, seperti biasa parang si Bajak terus terseret
sepanjang perjalanan. Selama tujuh hari tujuh malam, Bajak dan adiknya mencari
kepala ikan yang terlempar tadi. Ternyata kepala ikan tersebut terjatuh di
sebuah keraaan yang besar. Melihat kepala ikan tersebut, raja pun meminta
kepada seluruh prajuritnya untuk membuang kepala ikan tersebut. Namun, hal yang
sama terjadi, semua hanya sia-sia.
Raja bingung bagaimana cara membuang kepala
ikan itu. Karna kepala ikan itu menimbulkan bau yang sangat menyengat raja pun
memberi pengumuman.
“Barang siapa dapat membuang kepala ikan ini,
aku akan menikahkannya dengan putriku” ungkap sang Raja.
Bajak
dan Runtun Danau pun sampai di istana tersebut. Sesampainya di istana, Runtun
Danau melihat wanita yang sangat cantik di teras kerajaan. Ternyata wanita itu
adalah anak sang raja. Mendengar pengumuman sang raja, Runtun Danau pun
langsung mencoba mengangkat dan membuang ikan tersebut. Namun selalu sia-sia,
sedikitpun ikan itu tidak bergerak dari tempatnya. Akhirnya, Bajak membuang
ikan tersebut dengan menjentikkan tangannya dan ikan itu pun terlempar jauh. Sesuai dengan janji sang Raja pun
meminta Bajak untuk menikahi anaknya. Namun, sekali lagi Bajak menolaknya.
“Biar adikku si Runtun Danau saja yang
menikahi anakmu,” pinta si Bajak.
“Baiklah kalau itu maumu’’ jawab si Raja.
Runtun
Danau pun menikah dengan anak raja. Tinggal Bajak seorang diri yang melanjutkan
perjalanan. Sebelum melanjutkan perjalanan, Bajak kembali meminta kepada Runtun
Danau untuk menanam tumbuhan selasih.
“Apabila tumbuhan ini layu, berarti aku
mendapat musibah,” ungkap Bajak.
“Baiklah abangku,” jawab Runtun Danau.
Bajak
pun melanjutkan perjalanan untuk mencari kepala ikan yang sudah terlempar jauh
seorang diri. Selama tujuh hari tujuh malam Bajak mencari kepala ikan tersebut.
Akhirnya, Bajak menemukan kepala ikan itu di sebuah kerajaan. Kerajaan itu
sangat sepi. Tampak tidak ada kehidupan di kerajaan tersebut. Bajak pun
berbicara sendiri di depan kerajaan.
“Alangkah senangnya kalau berdua, ada teman
bicara,” ungkap si Bajak.
Akhirnya keluarlah inang (pembantu kerajaan)
dari samping tiang kerajaan yang besar itu. Setelah inang keluar, Bajak pun
berkata lagi kepada inang.
“Alangkah enaknya apabila bertiga, ada juga
yang menyaksikan pembicaraan,” ungkap si Bajak.
Setelah Bajak berbicara seperti itu, sang
Putri pun keluar dari samping tiang kerajaan. Bajak pun terkejut melihat dua
orang keluar dari samping tiang kerajaan.
“Mengapa kerajaaan ini sepi inang, kemana
yang lain?” tanya Bajak yang kebingungan.
“Raja dan seluruh prajurit sudah mati di
makan burung garuda yang sangat besar,” jawab si inang dengan wajah yang sedih.
“Bagaimana cara memanggil burung itu inang?”
tanya si Bajak.
“Caranya, tumbukkan saja lesung yang ada di
istana ini sebanyak tiga kali pada hari Jumat, pasti burung itu akan datang,”
jelas inang.
“baiklah kalau begitu caranya, aku akan
memanggil burung itu,” jawab Bajak.
“Jangan kaupanggil burung itu, nanti kita
bertiga akan mati dimakannya,” jawab inang sambil ketakutan.
“Tidak inang, aku akan membunuh burung
tersebut dengan parangku,” jawab Bajak dengan penuh keyakinan.
Bajak pun langsung mengambil alu untuk
menumbuk lesung kerajaan.
“Inang, sembunyikan tuan putri dalam
kerajaan!” perintah Bajak.
“Baik tuan,” jawab inang sambil membawa tuan
putri pergi.
“Lentung... lentung... lentung...,” bunyi
lesung yang ditumbuk oleh Bajak.
Tidak beberapa
lama, burung garudapun datang. Dengan seketika, langitpun menjadi gelap gulita,
burung itu sangat besar. Burung itu langsung menyambar Bajak. Dengan cepat
Bajak menarik parangnya dan menebas kepala burung garuda itu hingga mati. Bajak
puntertimpa sayap burung garuda sehingga tidak bisa keluar dari sayap tersebut.
Inang dan tuan putri pun keluar dan mencoba unituk membantu Bajak tapi itu
semua hanya sia-sia. Karna sayap burung tang menimpa Bajak sangat besar dan
berat.
Ketiga adik Bajak
mengetahui bahwa Bajak mendapat musibah karna kondisi tanaman selasih yang
ditanamnya layu. Tidak menunggu lama lagi, Rumpun Danau, Cabut Tunggul, dan
Timbak Tasik bergegas untuk membantu Bajak dengan cara mengikuti anak sungai
yang terbentuk bekas ujung parang Bajak.
Sesampainya di tempat keberadaan Bajak,
mereka pun melihat Bajak sudah tertimpa sayap burung garuda tersebut. Mereka
mencoba bersama-sama mengangkat sayap burung tersebut. Namun, sayap itu tidak
terangkat.
“Lari saudaraku, tinggalkan tempat ini. Aku
tidak apa-apa,” ungkap Bajak.
Mendengar hal tersebut, ketiga adik pun lari
meninggalkan Bajak. Akhirnya, Bajak menolak sayap burung tersebut dan dapat
keluar dari himpitan sayap burung besar tadi. Bajak bangga dengan
saudara-saudaranya yang sudah menepati janji.
Setelah dapat
keluar dari himpitan sayap burung tersebut. Bajak pun membelah perut burung
garuda itu. Bajak melihat banyak sekali bolah mata manusia yang ada di dalam
perut burung itu. akhirnya Bajak menghidupkan kembali orang-orang yang sudah
mati dimakan burung garuda itu. Raja juga hidup kembali akhirnya sang Raja
menikahkan Putrinya dengan Bajak. singkat cerita mereka pun hidup bahagia
bersama di istana.
EmoticonEmoticon